Takut Bayar Royalti Lagu Warkop di Luwu Hentikan Pemutaran Musik Demi Hindari Biaya Tambahan

Barista di Warkop 48 Kota Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

LUWU, Trendify.id – Polemik pembayaran royalti lagu yang diputar di warung kopi atau cafe tengah menjadi perbincangan.

Isu ini mencuat setelah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) melaporkan Mie Gacoan Bali ke polisi karena memutar lagu tanpa izin dan tak membayar royalti.

Kebijakan ini ikut dirasakan pemilik Warkop 48 di Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.

Pemilik Warkop 48, Fadli (32) mengaku, bingung dan khawatir dengan aturan tersebut.

“Saya dengar di berita, katanya ada pajak atau pembayaran untuk royalti musik. Kami sebenarnya masih bingung soal aturan ini,” ujarnya saat dikonfirmasi TribunTimur.com, Jumat (8/8/2025).

Fadli mengatakan, musik selama ini menjadi hiburan bagi pengunjung.

Namun, setelah mendengar kabar soal royalti, ia memutuskan menghentikan sementara pemutaran lagu di warkopnya.

“Biasanya memang ada musik, tapi saya takut nanti disuruh bayar royalti. Adanya aturan ini tentu memberatkan kami pelaku UMKM, karena ongkos pengeluaran bertambah,” kata Fadli.

Ia menambahkan, penghentian musik berdampak pada omset.

Menurutnya, penurunan pendapatan mencapai 30 persen karena banyak pelanggan biasanya meminta lagu tertentu diputar.

“Belum pernah ada sosialisasi atau edukasi soal ini ke pelaku UMKM. Kami berharap ke depan jangan ada kebijakan yang justru menambah beban usaha kecil, apalagi saat pendapatan sedang turun,” keluhnya.

Dosen UIN Palopo, Alghazali mengaku, pemutaran lagu di tempat usaha, termasuk kafe dan warkop, untuk kepentingan komersial, diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Kata Alghazali, undang-undang ini menyatakan pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk mendapatkan royalti atas penggunaan ciptaannya.

“Termasuk dalam bentuk lagu atau musik, di tempat-tempat komersial,” bebernya.

Alumnus Magister Hukum Universitas Hasanuddin ini mengaku, setiap orang menggunakan lagu untuk kepentingan komersial, wajib meminta izin dan membayar royalti kepada pemegang hak cipta atau melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang ditunjuk.

Hanya saja sambung Alghazali, sering kali, persepsi owner warkop atau cafe merasa sudah membayar hak cipta dengan cara membeli kaset ataupun berlangganan.

“Persepsi ‘sudah bayar’ sebagian pemilik kafe mungkin merasa sudah membayar hak cipta dengan cara lain, misalnya dengan membeli kaset atau CD asli, atau berlangganan layanan musik berbayar seperti Spotify atau YouTube Premium,” ujarnya.

“Padahal, langganan tersebut bersifat personal dan tidak memberikan lisensi untuk penggunaan komersial di ruang publik. Sosialisasi terkait perbedaan ini sering kali tidak sampai kepada pelaku usaha,” tambah Alghazali.

Ia menerangkan, perlu kerja sama kolektif antar lembaga untuk memberikan edukasi serta mensortir lagu yang aman untuk dimainkan.

“Tentu dengan persetujuan band atau pencipta musik, lembaga otoritas yang bertanggung jawan, serta melibatkan perhimpunan owner cafe ini,” tandasnya.

Polres Palopo
Pasangiklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *