Tulus, Air Mata Kades Jatuh di Gerbang PT BMS Saat Perjuangkan Nasib Warga
LUWU, Trendify.id – Suara isak terdengar di tengah panas terik dan asap ban yang membumbung di depan gerbang PT Bumi Mineral Sulawesi (BMS), Senin (27/10/2025).
Di antara massa yang berteriak menuntut keadilan, berdirilah seorang perempuan bertubuh mungil dengan seragam kepala desa berdebu. Ia adalah Umi, Kepala Desa Padangkalua, Kecamatan Bua.
Hari itu, Umi turun langsung ke jalan untuk memperjuangkan nasib warganya yang kecewa karena tak kunjung diterima bekerja di perusahaan smelter milik Kalla Group tersebut.
“Ini bukan sekadar soal pekerjaan, ini soal keadilan dan kemanusiaan!” teriak Umi lantang melalui pengeras suara yang digenggamnya erat.
Sorakan warga menggema. Spanduk bertuliskan “Tenaga Lokal Bukan Penonton” berkibar diterpa angin panas. Tapi di balik ketegasan suaranya, mata Umi mulai berkaca-kaca.
“Warga kami sudah sering melamar kerja, berkali-kali membawa berkas dan harapan, tapi tak pernah diterima,” katanya terbata.
“Anak-anak muda datang padaku malam-malam, bilang mereka ingin merantau. Tapi ke mana mereka harus pergi? Tanah ini sudah dikuasai perusahaan. Mereka tamu di negeri sendiri.”
Kata-kata itu membuat suasana hening. Massa yang semula berteriak tiba-tiba diam. Sejumlah ibu-ibu menangis. Beberapa pemuda menunduk.
Air mata Umi jatuh di pipinya yang berdebu. Ia cepat mengusapnya, tapi tangis itu tak berhenti.
“Tak apa aku menangis,” ujarnya lirih. “Yang penting rakyat tahu, mereka tidak sendirian.”
Sejak pagi, Umi tak sempat pulang ke rumah. Usai rapat di kantor desa, ia langsung menuju lokasi aksi setelah mendengar warga dan mahasiswa kembali turun ke jalan.
Ia datang tanpa pengawalan, satu-satunya kepala desa dari 14 desa dan satu kelurahan di Kecamatan Bua yang hadir di tengah massa.
Di hadapan portal besi yang dijaga aparat, ia berdiri tegak, memegang pengeras suara seolah senjata terakhirnya.
“Kalau keadilan tak bisa datang dari atas, biarlah kami mencarinya dari bawah,” katanya dengan suara bergetar.
Sore menjelang. Bayangan pabrik menjulur panjang di atas jalan berdebu tempat ia berdiri. Umi melangkah mundur perlahan, matanya lurus menatap portal perusahaan.
Beberapa pemuda menenangkannya, tapi ia hanya tersenyum kecil.
“Yang penting rakyat tahu, ada yang mau bicara untuk mereka,” ucapnya pelan.
Umi berjalan menjauh, meninggalkan jejak kaki kecil di tanah kering Bua.
Jejak yang mungkin hilang tertiup angin, tapi tidak dari ingatan rakyatnya.
Dialah Umi, Kepala Desa Padangkalua, perempuan yang menangis bukan karena lemah, tapi karena terlalu cinta pada rakyatnya. (*)







